101022, 15:45 – Polri menemukan ada beberapa gas air mata kedaluwarsa atau expired yang ditembakkan di Stadion Kanjuruhan, Malang 1 Oktober 2022 lalu.
Hal
ini disampaikan oleh Kepala Divisi Huma Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo bahwa pihaknya
menemukan gas air mata yang kedalurwarsa di lapangan.
“Ya,
ada beberapa yang diketemukan (kedaluwarsa) ya yang tahun 2021 ada beberapa ya,”
kata Dedi
“Saya
belum tahu jumlahnya tapi masih didalmi oleh Labfor (laboratorium forensic) tapi
ada beberapa,””
Dedi
menjelaskan, gas air mata yang kedaluwarsa sudah tidak begitu efektif, sebab,
zat kimia di dalam gas air mata yang kedaluwarsa itu menurun kadarnya,
“Ketika
tidak diledakkan di aas maka akan timbul partikel lebih kecil lagi dari pada
partikel yang lebih kecil lagi daripada bedak yang dihirup kemudian kena mata
yang mengakibatkan perih, jadi kalau sudah expired justru kadarnya berkurang
dan kemampuannya akan menurun,”
Sebagaimana
diketahui, berdasarkan investigasi independent sementara yang dilakukan
Lokataru bersama dengan sejumlah elemen sipil seperti YLBHI dan Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontrS) menyebutkan dugaan gas air
mata kedalurwasa di tragedi Kanjuruhan.
Pertama-tama
ndut haturkan simpati dan dukacita mendalam kepada keluarga korban agar diberikan
kekuatan dan ketabahan dalam menerima ini semua dan korban yang meninggal
diberi tempat yang layak oleh Sang Ilahi, amin.
Ndut
cukup kaget mendengar temuan kasus ini dimana gas air mata yang ditembakkan ke
arah penonton adalah kedaluwarsa alia expired, pertanyaan sekarang kok bisa itu
terjadi ? memangnnya tidak ada audit internal dari Polri atau Polda Jatim dalam
menginspeksi peralatan anggotanya ?
Walaupun
kadar dan kemampuannya menurun tapi tetap saja kan mematikan dan terbukti 131
orang meski kata polri ke-131 orang tersebut tewas bukan karena gas air mata
melainkan desak-desakan dan terinjak.
Tapi
ada sebab donk kenapa mereka teinjak-injak dan berdesakan sehingga menimbulkan
kematian yaitu menghindari paparan uap dair gas air mata yang dilontarkan oleh
petugas polri yang ‘cukup cerdas namun kurang pintar’ dalam membaca situasi.
Dan
juga ada klaim bahwa gas air mata tidak mematikan meskipun digunakan dalam
skala tinggi hal ini disampaikan oleh Kadivhuma Polri, Irjen Dedi Presetyo, apakah
ucapan mantan Kapolda Kalimantan Tengah ini benar adanya ?
Sepertinya
Kadivhumas Polri ini harus lebih banyak baca jurnal selain bertemu dengan para
dokter yang ahli dalam bidangnya dan praktisi kesehatan namun tidak pakai
logika dan pengandaian dalam menganalisa masalah.
Ini
ya Pak Kadiv yang katanya Humas, Humas itu harus mencerdaskan masyarakat walaupun
fungsinya memoles institusi agar lebih indah
dan imej nya terjaga dengan manis, namun yang namanya bobrok ya tetap saja
bobrok.
Menurut
catatan CDC, Centers for Disease Control
and Prevention, Amerika Serikat yaitu pusat pengendalian dan pecegahan penyakit
yang menjadi rujukan laman-laman kesehatan termasuk di Indonesia.
CDC
mengatakan gas air mata dapat berkolerasi pada kematian dalam kondisi tertentu.
“keterpaparan
gas air mata pada waktu yang lama atau dosis tinggi, terutama dalam ruang tertutup
dalam menyebabkan dampak serius,” demikian tulis CDC dalam artikelnya.
“Di
antaranya yakni kebutaan, glaucoma (yang berakhir pada kebutaan), kematian
langsung akibat luka bakar serius di tenggorokan dan paru-paru, kegagalan
pernapasan yang dapat berujung pada kematian.
Lalu
Polri berkesimpulan bahwa gas air mata bukan penyebab kematian para korban di
lokasi stadion melainkan berdesakan dan kekurangan oksigen.
“Penyebab
kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen
karena apa ? terjadi berdesak-desakan, terinjak-njak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan
kekuranan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14 dan pintu 3, ini yang jadi korbannya
cukup banyak,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo
Okelah
kata anda dengan mengutip dari dua tokoh kedokteran mengatakan bahwa gas air mata
bukan penyebab kematian namun berdesak-desakan, terinjak-injak dan bla…bla…blaa…
Namun
pertanyaannya, ndak mungkin donk mereka mati terinjak-injak kalau tidak ada
pangkal masalah, masa iya penonton rela dan mau mati terinjak-injak hingga
kekurangan oksigen.
Mereka
ini mati karena menyelamatkan diri dari amukan gas air mata yang secara brutal
dilontarkan oleh petugas gabungan Polda Jatim ke arah penonton agar tidak bertindak
anarkis.
Pengandaiannya
dimana itu, kok bisa gas air mata bukan penyebab kematian, jadi pangkal masalah
iya, tidak mungkin mereka mati tanpa sebab.
Bayangkan
saja, anda berada di dalam ruangan tertutup 3x4 lalu dilemparkan gas air mata
tanpa ada ventilasi, kemudian timbul sesak napas bukan, yang ujung-ujungnya
kematian karena kehabisan oksigen, terus pangkal dari kehabisan oksigen itu apa
? ya karena lemparan gas air mata iya kan ?
Itulah
yang dialami oleh 131 orang yang mati kehabisan oksigen, terinjak-injak,
berdesak-desakan ya karena mereka menghindari dan menyelamatkan diri dari amukan
gas air mata.
Ndut
sich berharap Polri transparan se-transparan sebagaimana arti dan makna dari
kata transparan itu, tidak usah pake insial lah klo memang bersalah beberkan
saja nama dan pangkat serta jabatan para personel yang bersalah daripada public
dan media yang beberkan akan lebih malu lagi
bukan ?!
Dan
kalau memang salah, akuilah kesalahannya, minta maaf kalo perlu membungkukan
badan seperti layaknya minta maaf orang Jepang di hadapan kamera, jangan sampai masyarakat menjadi antipati dan
tidak percaya lagi dengan insitusi Polri karena terus-terusan menutupi
kesalahan yang dibuat oleh personelnya.
Saatnya
Polri membenah diri, belajar dan paham lagi bahasa Inggris dengan baik dan benar
mulai dari tingkat tamtama hingga perwira agar dalam menjaga hajat atau pesta
olahraga paham mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut aturan federasi
olahraga tersebut.
Seperti
sepakbola, ya kiranya Polri bekerja sama dengan PSSI, AFC dan FIFA memberikan pembekalan
kepada para personil mulai dari tamtama hingga perwira tinggi dan menjadi kurikulum
wajib dalam pendidikan kedinasan agar kejadian kanjuruhan itu tidak terjadi
lagi dan paham akan aturan yang berlaku yang dibuat oleh FIFA.
Kalo
memang aturannya tidak boleh berseragam, bertameng, senjata dan gas air mata ya
jangan dibawa donk ke dalam lapangan, berarti yang kemarin di Kanjuruhan itu
para personel Polri tidak paham atau tidak membaca dengan detail soal aturan keamanan
stadion menurut aturan FIFA.
Kita
lihat saja perkembangannya apakah Polri sudah benar transparan sebagaimana arti
sebenarnya dalam mengawal kasus ini tanpa ada yang ditutupi seperti pen-ungkapan
nama, pangkat dan jabatan daripada yang bersalah melanggar etik dan pidana.
Atau
kasus ini hanya berjalan ditempat dan hanya sekedar formalitas dalam memenuhi
kepuasan para masyarakat bahwa kasus ini diusut namun hanya segelintir orang
yang dipersalahkan sedangkan orang yang jelas-jelas membunuh dalam artian
memegang senjata pelontar gas air mata hanya dihukum etik dan tidak dipecat
dengan upacara pencopotan seragam termasuk komandan Kompi, Komandan Batalyon
dan pejabat in charge saat di lapangan ketika peristiwa itu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar